Friday 8 March 2013

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW

RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMMAD SAW. DAKWAH DAN PERJUANGAN

1.      Sebelum Masa Kerasulan
Nabi Muhammad SAW. adalah anggota Bani Hasyim, sesuatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan Siqayah Nabi Muhammad SAW. lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah dari Bani Zuhrah Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama Tahun Gajah (570 M).[9] Dinamakan demikian, karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi ( Ethiopia ) dengan menunggang gajah menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah, meninggal dunia setelah ia menikahi Aminah.
 Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan sampai usia 4 tahun. Setelah itu, kurang lebih 2 tahun dia berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia 6 tahun, dia menjadi yatim piatu. Seakan-akan Allah ingin melaksanakan sendiri pendidikan Muhammad, orang yang dipersiapkan untuk membawa risalah-nya yang terakhir Allah berfirman:
  

 Bukankah Allah mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allahmendapatimu sebagai orang yang bingung lalu Dia memberimu petunjuk.” (Qs At-Tin [95]: 6-7 ).
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Namun, 2 tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, ia sangat disegani orang dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan, tetapi dia miskin.
Dalam usia muda, Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Melalui kegiatan pengembala ini dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung. Dalam suasana demikian, dia ingin melihat sesuatu dibalik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga dia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda ia sudah dijuluki Al-Amin, orang yang terpercaya.
Nabi Muhammad SAW. ikut pertama kali dalam kafilah dagang ke Syira (Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatan Syiria, ia bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasehatkan Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syiria, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.[10]
Pada usia yang kedua puluh lima, Muhammad berangkat ke Syiria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar. Khadijah kemudian melamarnya. Lamaran itu diterima dan perkawinan segera dilaksanakan. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu nabi dalam perjuangan menyebarkan Islam.
Perkawinan bahagia dan saling mencintai itu dikaruniai enam orang anak, dua putra dan empat putri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Kedua putranya meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad SAW. tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal ketika Muhammad berusia 50 tahun. Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada usia 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat. Perbaikan Ka’bah dilakukan secara gotong royong. Para penduduk Makkah membantu pekerjaan itu dengan suka rela. Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakan Hajjar Aswad di tempatnya semula, timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat itu.
Perselisihan semakin memuncak, namun akhirnya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke Ka’bah melalui pintu Shafa, akan dijadikan hakim untuk memutuskan perkara ini. Ternyata, orang yang pertama masuk itu adalah Muhammad. Ia pun dipercaya menjadi hakim. Ia lantas membentangkan kain dan meletakan Hajjar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, Muhammad kemudian meletakan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian, perselisihan dapat diselsaikan dengan bijaksana. Dan kepala suku merasa puas dengan cara penyelsaian  seperti itu.

:
2.      Masa Kerasulan
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkotemplasi ke Nabi Muhammad SAW. , beberapa kilo meter di Utara Makkah. Disana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama:
  

         “ Bacalah dengan nama Tuhan- Mu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpul darah. Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia  telah mengajar dengan qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui. (Qs Al-Alaq [96]: 1-5)
 Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad SAW. menantikannya dan selalu ke Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut:


          “Hai orang yang berselimut bangun, dan beri ingatlah. Hendaklah engkau  besarkan Tuhanmu dan bersihlkanlah pakainmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud memperoleh balasan) yang lebih banyak untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah.
 (Qs Al-muzzamil [73]: 1-7)
            Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasullullah berdakwah. Pertama- tama, beliau melakukannya secara berdiam-diam di lingkungan sendiri, dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan kerabat dekatnya, mula-mula isterinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abu Thalib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak- kanak.

Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya Ummu Aiman, pengasuh nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. Sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Talhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada nabi dan masuk Islam di hadapan nabi sendiri. Dengan dakwah secara diam-diam ini, belasan orang ini telah memeluk agama Islam.
            Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia menyatakan kepada mereka, “ Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang mereka bawa kepada kalian. Kubawakan dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”.[11] Mereka semua menolak kecuali Ali.
              Langkah dakwah selanjutnya yang diambil Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula- mula ia menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, ia juga menyeru oramg-orang yang datang ke Makkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan ibadah haji. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang- orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang- orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
              Setelah dakwah terang-terangan itu, pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy. Menurut Ahmad Salabi ada lima faktor yang mendorong orang Quiraisy menentang seruan Islam itu.[12]
1.      Mereka tidak dapat membedakan antara nabi dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada pemimpin Abdul Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
2.      Nabi Muhammad SAW. menyerukan persamaan antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3.      Para pemimpin Quraisy tidak mdapat menerima tentang ajaran kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. 
4.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.

Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: ‘’Kami minta Anda memilih satu diantara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau Anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian, Anda akan tehindar dari kesulitan yang tidak diinginkan”. Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut,sehingga mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, nabi menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah, walaupun seluruh keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya”. Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata:”Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu.”
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan untuk di pertukarkan dengan Nabi Muhammad SAW. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu Thalib: “Ambilah dia anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad SAW., mereka langsung mengutus Utbah bin Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta wanita, dan harta asal Nabi Muhammad SAW. bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Nabi Muhammad SAW. dengan mengatakan : “ Demi Allah biarpun mereka meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, sehingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”
Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan oleh kaum Quraisy gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekerasan itu lebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa di lingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayan yang berbeda dengah Tuhan mereka. Budak-budak itu disiksa Tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpinh Quraisy juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai ia murtad kembali.
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Makkah terhadap kaum Muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad SAW. untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar Makkah. Pada tahun ke-5 kerosulannya.nabi menetapkan Habsyah (Ethiopya) sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah 10 orang pria dan 4 orang wanita, diantaranya Usman bin Affan beserta istrinya Rukayah puteri rasullullah, Zubair bin Awwam dan Abdurohman bin ‘Auf. Kemudian, menyusul rombongan kedua sejumlah hampir 100 orang, dipimpin oleh Ja’far ibnu Abu Thalib. Usaha orang- orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Basyah ini. Termasuk membujuk Negus agar menolak kehadiran umat Islam disana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka melakaukan orang Islam, semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan, ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang Quraisy masuk Islam. Hamzah dan Umar bin Khathab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh ialah pemboikotan. Mereka memutuskan segala  bentuk hubungan dengan suku ini.
Tidak seorang penduduk Makkah pun diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan kaum Bani Hasyim persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditandatangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat pemboikotan tersebut Bani Hasyim mengalami kelaparan, kemiskinan dan kesengsaran yang tak ada bandingannya. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindah kesuatu lembah diluar kota makkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama 3 tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam
Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot dihentikan Bani Hasyim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. 3 hari setelah itu Khadijah, istri Nabi, meninggal dunia pula, peristiwa ini terjadi pada tahun ke-10 kenabian.tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak sergan- segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap nabi.melihat reaksi penduduk Makkah sedemikian rupa, nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam keluar kota. Namun, di Thaif  dia di ejek disoraki, dan dilempari, bahkan sampai terluka dibagian kepala dan badannya.
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra dan memikrajkan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang Isra’ dan Mikraj ini menggemparkan masyarakat Makkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman ia merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Makkah. Mereka yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang.[13]
1.      Pada tahun ke-10 kenabian, beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi. ”Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ‘Aus. Mereka benar, benar merindukan kedamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh Karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan Islam di Yatsrib.
2.      Pada tahun ke-12 kenabian delegasi Yatsrib terdiri dari 10 orang suku khazraj dan 2 orng suku ‘Aus serta seorang wanita menemui nabi disuatu tempat bernama Aqobah, dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus  pertama’. Pada musim haji berikutnya jamaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usulan yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian ‘Aqobah kedua’
            Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian anatara nabi dan orang-orang Yatsrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum Muslimin. Hal ini membuat Nabi segera ,memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, hampir semua kaum Muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Makkah hanya Ali dan Abu Bakar yang masih tinggal di Makkah bersama nabi. Keduanya membela dan menemani nabi sampai ia berhijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.
Dalam perjalanan ke Yatsrib, nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar 5 km dari Yatsrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Ia menginap dirumah Kalsum bin Hindun. Dihalaman rumah ini nabi membangun sebuah Masjid. Inilah masjid pertama yang dibangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali mengabungkan diri dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Makkah.
Setelah itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-ngelukan kedatangan beliau dengan kegembiraan. Sejak itu sebagai penghormatan terhadap s diubah menjadi Madinatun Nabi  (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (Kota bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar keseluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini disebut Madinah saja.




C.     BUKTI-BUKTI KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW

1.      Bisyarat (Pengabaran dari Kitab-Kitab sebelumnya) 

Kitab-kitab Allah sebelum Al-Qur’an telah memberi kabar gembira tentang kenabian Muhammad SAW. sebelum Beliau dilahirkan, bahkan kitab-kitab tersebut telah mengabarkan sifat-sifat pribadi Nabi Muhammad SAW, ciri-ciri negeri tempat kemunculannya, keadaan kaumnya, dan kapan (waktu) beliau diutus.
Allah SWT berfirman:


 “(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (Qs Al- ‘Araf [7] : 157)


Para Ahbar (ulama Yahudi) dan Qissis (pendeta Nasrani) terdahulu telah memberikan berita gembira dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW sebelum beliau diutus. Allah SWT berfirman membujuk dan mengingatkan orang-orang Arab musyrik yang telah mendengar berita ini dari ulama Bani Israil agar mereka beriman:
 “Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (Asy-Syu’ara[26]: 196-197)

Ketika Nabi Muhammad SAW benar-benar diutus oleh Allah SWT, sebagian mereka dan ahli kitab pun beriman kepada beliau dan yang lainnya tetap kafir. Dan alasan terbesar keimanan mereka adalah kesesuaian bisyarat yang mereka dapatkan dalam Taurat Dan Injil dengan pribadi Rasulullah SAW.


orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al kitab sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu. ( Qs. Al- Qasash [28]: 57 )
  

Arab sebelum adanya islam

PEMBAHASAN
A.     ARAB SEBELUM ISLAM
Ketika Nabi Muhammad SAW. SAW. Lahir (570M), Makkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota dilalui jalur perdagangan yang ramai, menghubungkan Yaman di Selatan dan Syria di Utara. Dengan adanya Ka’bah ditengah kota, Makkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. didalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, hubal. Makkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab  ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga memang mendiami daerah-daerah di sekitar jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas banga Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair dimusim hujan. Sebagian besar daerah jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda- beda, karena itu bisa dibagi menjadi tiga bagian:[1]
1.   Sahara Langit memanjang 140 mil dari Utara ke selatan dan 180 mil dari Timur ke Barat,disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin sering kali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah Timur sampai Selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’al  Khali bagian yang sepi).
3. Sahara Harrat, Suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam menyebar dikeluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku Badui yang mempunyai  gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah kesuatu daerah ke daerah lain guna mencari air dan pandang rumput untuk binatang peliharaan mereka, kambing, dan onta.
Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.
Bila dilihat dari asal usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Qahtan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail bin Ibrahim). Pada mulanya wilayah Utara diduduki golongan Adnaniyun, dan wilayah Selatan didiami golongan Qathaniyun. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari Utara ke Selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalm diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus.
 Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syaikh atau amir ( ketua kabilah ) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syaikh atau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.
Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[2] Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain, bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejarkan dengan bagsa-bangsa yang masih berada dalam tahap permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh masyarakat Badui adalah penyair.[3]
Lain halnya dengan penduduk negeri yag telah berbudaya dan mendiami pesisir jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai kehadiran Nabi Muhammad SAW. SAW., kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudra India. Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir mengubah syair. Biasanya, syair-syair itu dibacakan di pasar-pasar, mungkin semacam pagelaran pembacaan syair, pembacaan syair seperti di pasar   ‘ ukaz’. Bahasa mereka kaya dengan ugkapan, tata bahasa dan kiasan.
Melihat bahasa dari hubungan dagang bangsa Arab, Leboun berkesimpulan, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. Ia yakin, bangsa Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit kembali pada masa Islam. Golongan Qathaniyun, misalnya pernah mendirikan kerajaan Saba’ inilah yang membangun bendungan Ma’arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan. Pada masa kejayaanya, kemajuan kerajaan Saba’ dibidang kebudayaan dan beradaban, dapat dibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekas-bekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanah.[4] Pada masa pemerintahan Saba’, bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh.
 Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul kerajaan Himyar menggantikannya. Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi India, Cina, Somalia, dan Sumatra ke pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar.[5]
 Terutama setelah bendungan Ma’arib runtuh, masa gemilang kerajaan Himyar sedikit-sedikit memudar. Banyak bangunan roboh dibawa air dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian Utara jazirah. Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategis dan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan Persia yang selalu bersaing untuk menguasainya.
Di sebelah Utara jazirah juga sudah pernah berdiri kerajaan-kerajaan. Tetapi, kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat. Ini terjadi karena kafilah-kafilah Romawi dan Persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. Untuk melindungi kafilah-kafilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut didirikanlah kerajaan Hirah di bawah perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi.[6] Kedua kerajaan ini berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira  abad ke-3 sampai abad kedatangan Islam. Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman.
Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah sama bangsa lain, baik karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, adalah Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Makkah, kota suci tempat Ka’bah berdiri. Pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Makkah, tetapi juga, oleh orang-orang yang bermukim disekitarnya.
Untuk mengamankan para pejiarah yag datang ke kota itu didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada ditangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kerkuasaan atas ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qusai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah.
Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Adapun 10 jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjaga kunci-kunci Ka’bah; siqayah, pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para peziarah; diat, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’, jabatan ketentaraan; rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin; nadwah, jabatan ketua dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazinah, jabatan administrasi keuangan dan keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais.[7]
Setelah  kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh kerajaan Romawi dan Persia. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hija. Makkah pun menjadi mashyur dan disegani. Begitu pula suku Quraisy  kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, perdagangan menjadi maju akan tetapi, kemajuan Makkah tidaklah sebanding dengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya meskipun demikian, dengan Makkah menjadi pusat peradapan bangsa Arab bagaikan memulai babak baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.
Jadi, apa yang berkembang menjelang kebangkitan Islam itu merupakan pengaruh dari kebudayaan dan peradaban Arab pengaruh tersebut masuk ke Jazirah Arab melalui beberapa jalur; yang terpenting diantaranya:
1.      melalui hubungan dagang dengan bangsa lain,
2.      melalui kerajaan-kerajaan protektorat, Hirah dan Ghassan dan
3.      masuknya misi yahudi dan kristen.[8]
Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan bangsa-bangsa Syria, Persia, Habsyi, Mesir (Qibthi), dan Romawi yang semua telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaan-kerajaan protektorat, banyak berdiri koloni-koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirrah. Penganut agama Yahudi juga banyak mendirikan koloni di Jazirah Arab, yang terpenting caranya yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menganut agama Yahudi.
Mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan pandai membuat alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan. Sama dengan penganut agama Yahudi, orang-orang kristen juga mendapat pengaruh dari keudayaan hellinisme dan pemikiran  Yunani aliran kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nestorian di Hirah aliran Jacob-Barady di Ghassan. Daerah kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur penganut agama kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia),negara yang melindungi agama ini.penganut aliran nestorianlah yang bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaan Arab pada masa awal kebangkitan Islam
Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala yang tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun di tempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang di anggap sebagai dewa terbesar, terletak di Ka’bah; Lata, dewa tertua, terletak di Thaif; Uzza,bertempat  di Hijaz, kedudukanya berada di bawah Hubal dan manat yang bertempat di Yasrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk. Demikianlah keadaan bangsa dan Jazirah Arab menjelang kebangkitan Islam.