MA’RIFAH
1.
Pengertian
Istilah
ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”,
yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika
Sufi mencapai suatu maqam dalam
Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan
salah satu pendapat ulama tsawuf yang mengatakan:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan: “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang
wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib As-Samiry yang mengakatan: “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada
sufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”
c.
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin
Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: “Ma’rifah
membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana imu pengetahuan membuat ketenangan
(dalam akar pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak
semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan kepada tingkatan ma’rifah
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang
mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
perilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersikap nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu
benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa
seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan
kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegioatan ibadahnya kepada Allah
SWT. sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang
dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Begitu
rapatnya posisi hamba dengan Tuhannya ketika pencapai tingkat ma’rifah, maka
ada beberapa ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a.
Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah,
bagaikan ia berada dimuka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada
lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam
cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b.
Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapaitingkatan
ma’rifah, bagaikan sifat air dalam gelas,yang selalu menyerupai warna gelasnya.
Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai
sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu
merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatan kepada Allah
terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.
Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan
dengan Tuhannya, sehingga keadaaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat
tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus
dilaluinya secara berueutan; mulai dari Syariat, Tarikat, Hakikat dan Ma’rifah.
Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh
tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami
kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.
No comments:
Post a Comment